Arus budaya global yang begitu deras dan dipacu oleh globalisasi ekonomi sebenarnya juga melanda masyarakat Asia. Modernisasi ala Barat terus berlangsung di kawasan Asia yang mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi antar kawasan ekonomi lainnya. Liberalisasi ekonomi juga berkembang pesat di Asia sehingga makin menghilangkan batas-batas negara dan mempercepat integrasi ekonomi Asia.
Pentingnya budaya nasional dan keprihatinan terhadap dominasi budaya asing terungkap pada pemikiran sebagian kalangan intelektual kita. Daoed Joesoef (2012) mempersoalkan pembangunan nasional yang terjebak pada pembangunan ekonomi dalam arti sempit, padahal pembangunan nasional akan berhasil jika diterapkan dengan pendekatan budaya (pendekatan ruang sosial dan benar-benar bernuansa human). Kasijanto Sastrodinomo (2012) mengemukakan bahwa sempat para pemikir Kiri ‘mazhab’ Soviet tempo dulu menuding Inggris sebagai bahasa dunia kapitalisme dan dominasi dunia. Bagaimana pun juga aspek bahasa merupakan bagian dari budaya bangsa, sehingga dominasi bahasa asing khususnya Bahasa Inggris terhadap bahasa nasional bangsa mencerminkan dominasi budaya asing.
Meluasnya globalisasi dan budaya global bukan merupakan isu baru di kalangan masyarakat Asia. Batas negara di kawasan Asia menipis, terutama dengan integrasi ekonomi Asia. Globalisasi yang mempertajam persaingan mendorong integrasi ekonomi Asia. Masyarakat Asia pun berpacu dalam modernisasi. Kehidupan modern menjadi kelaziman terutama di kalangan masyarakat perkotaan. Negara-negara Asia Timur sempat mengalami modernisasi dan kemajuan ekonomi yang begitu pesat. Louis de Lamare (2009) menyatakan: ”Kita menyaksikan gelombang modern baru yang muncul dari barat, tidak bermaksud mengatakan dari Amerika, yang diartikan sebagai budaya populer dan yang sedang bertumbuh di Asia. Dengan bantuan komunikasi dan teknologi modern, gelombang ini melewati batas-batas negara dengan mudah dan bahkan menjangkau negara-negara miskin dan kaya, muda dan tua, timur atau barat, utara atau selatan dan tidak membuat perbedaan sama sekali dalam perjalanannya.”
Globalisasi memungkinkan komunikasi dan informasi ‘real time’ di kalangan masyarakat dunia termasuk Asia. Apa yang terjadi di salah satu belahan bumi dapat diinformasikan secara bersamaan di belahan bumi lainnya. Kemajuan komunikasi dan informasi tersebut mengembangkan konsep dunia datar (The World is Flat) oleh Thomas L. Friedman (2005). Kemajuan tersebut memperluas produk dan pasar global di seluruh penjuru dunia. Masyarakat Asia menikmati berbagai produk global, yang sering dianggap sebagai produk Barat, karena banyak berasal dari AS dan Eropa, meskipun tidak sedikit produk negara-negara Asia juga mulai meluas sebagai produk global.
Globalisasi dan budaya global berkaitan erat dengan dorongan globalisasi ekonomi yang sarat akan sistem ekonomi bebas dan kapitalis. Menguatnya interdependensi ekonomi merupakan ciri utama globalisasi ekonomi, sehingga interdependensi ekonomi memungkinkan krisis-krisis ekonomi dunia termasuk krisis ekonomi Asia. Salah satu hasil dari Konferensi mengenai Globalisasi dan Keamanan Kawasan: Perspektif Asia, pada 23-25 Februari 1999, di Honolulu, Hawaii, mempertegas bahwa ekonomi telah memacu globalisasi. Masyarakat dunia menyadari bahwa modernisasi yang dikejar oleh masyarakat dunia sarat dengan perdagangan, modernisme, dan keinginan untuk mejadi lebih kaya dan terus bertumbuh. Yang menarik dan perlu menjadi renungan masyarakat Asia dari hasil Konferensi adalah bahwa ekonomi Asia memberi kontribusi terhadap globalisasi ekonomi yang bisa ditafsirkan oleh pandangan ‘beberapa peserta bahwa negara-negara Asia telah memainkan peran kunci dalam mempromosikan globalisasi di kawasan.”
Meluasnya budaya global berdampak negatif terhadap budaya lokal masyarakat Asia. Budaya global dikhawatirkan akan berdampak pada erosi budaya lokal/Asia yang merupakan keunggulan Asia dan mengagungkan modernisasi dan budaya global. Keadaan ini memprihatinkan karena Asia memiliki kekayaan budaya yang menjadi salah satu keunggulan utama bangsa Asia. Masyarakat Asia pada dasarnya menghargai sejarah dan memiliki budaya yang unik yakni budaya untuk menghargai perasaan manusia (human feeling).
Konferensi mengenai Globalisasi dan Keamanan Kawasan menyimpulkan salah satu karakteristik globalisasi adalah “munculnya budaya internasional yang semakin didominasi Barat, suatu kecenderungan yang banyak negara telah ungkapkan keprihatinan akan erosi identitas nasional dan nilai-nilai tradisional.” Betapa tidak tafsiran westernisasi, karena masyarakat global lebih memiliki ciri masyarakat konsumeris dan mendambakan kekayaan. Konferensi tersebut juga mengungkapkan pengakuan masyarakat dunia akan dominasi Barat. Kemajuan modernisasi yang di bawah arus globalisasi mengandung kebiasaan Barat yang berbeda dengan kebiasaan/budaya Asia. Perbedaan yang cukup menyolok adalah bahwa Barat mengandalkan pemikiran rasional dan formal, sementara Asia pada perasaan dan pendekatan secara perorangan.
Dalam kehidupan masyarakat, dunia menyaksikan pertumbuhan dan modernisasi ekonomi di Asia, namun timbul kecemasan akan kehilangan tradisi Asia. Harus diakui bahwa kapitalisme bertumbuh subur dalam pertumbuhan dan modernisasi ekonomi Asia. Ada pandangan bahwa pola yang diikuti oleh negara-negara Asia telah melibatkan banyak kebiasaan negara-negara
Barat. Yang memprihatinkan adalah melemahnya kehidupan berbangsa dan bernegara akibat lunturnya dan hilangnya identitas diri sebagai bangsa. Meluasnya dominasi budaya asing/global dapat menimbulkan ketergantungan masyarakat Asia terhadap budaya global, terutama bila negara tidak memiliki dan menerapkan strategi pembangunan budaya nasional yang kuat. Tanpa strategi pembangunan budaya, suatu bangsa tidak akan tergerak untuk memelihara dan membangun budaya lokal/nasional. Akhirnya, masyarakat bisa kehilangan indentitas diri tanpa budaya nasional melainkan budaya asing/global yang, disayangkan, sarat akan nilai-nilai budaya Barat.
Ketergantungan suatu masyarakat terhadap budaya global tanpa disadari menciptakan penjajahan dalam bentuk penjajahan budaya. Masyarakat terutama generasi muda lebih mengenal dan menerima kebiasaan dan kebudayaan baru, yakni budaya global. Sejauh generasi muda memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju ataupun transfer teknologi dan manajemen dari perusahaan-perusahaan multinasional dalam era globalisasi tentu tidak bermasalah. Namun yang menjadi masalah adalah hilangnya jati diri bangsa dengan dikesampingkannya budaya lokal/nasional oleh generasi muda.
Dampak budaya global sebenarnya telah menjadi perdebatan. Di satu pihak, budaya global dikhawatirkan akan berakibat pada erosi budaya lokal. Tetapi di pihak lain, ada juga pandangan berbeda bahwa globalisasi tidak akan mengancam budaya Asia. Beberapa pemikiran yang berkembang dewasa ini adalah bahwa, walaupun gaya hidup masyarakat Asia semakin modern, tetapi banyak di kalangan masyarakat Asia menekankan pentingnya tradisi dan budaya.
Dalam bukunya the World is Flat, Friedman memperkenalkan berkembangnya dunia datar, di mana negara-negara Asia seperti India dapat memanfaatkan globalisasi dan kemajuan globalisasi, sembari mempertahankan identitas masyarakat mereka sebagai masyarakat India. Di Asia pun istilah ‘glocalize” yang merupakan perpaduan istiadat dan budaya global dengan budaya local semakin populer. Konsep dunia datar menunjukkan bahwa globalisasi memberi peluang yang sama bagi masyarakat lokal dapat mempromosikan budayanya ke budaya baru. Komunikasi dan informasi real time jelas dalam waktu bersamaan memungkinkan masyarakat lokal untuk mentransfer pemikiran dan gagasan lokal ke masyarakat global. Memang budaya Asia, khususnya budaya Tionghoa, Jepang dan Korea, makin dikenal masyarakat global. Menjadi perguncingan kalangan remaja betapa film-film Korea populer tidak hanya di kalangan masyarakat Asia, tetapi juga di Eropa.
Meskipun arus budaya global menyebar begitu luas, perlu diakui bahwa beberapa Negara Asia yang mengalami kemajuan ekonomi dan modernisasi berusaha mempertahankan budaya lokal bahkan mengembangkan budaya lokal dan diterima menjadi budaya global. Hanya bangsa yang memiliki budaya yang kuat dan terpelihara dapat mempromosikan budaya mereka, dan umumnya bangsa tersebut memiliki pemimpin-pemimpin yang menghargai budaya bangsa mereka dan sungguh-sungguh menerapkan strategi pembangunan budaya dalam pembangunan nasional. Sebaliknya bangsa yang sibuk melakukan pembangunan nasional dan hanya terfokus pada pembangunan ekonomi dan mengabaikan pembangunan budaya tidak akan mampu memelihara dan memiliki budaya yang kuat sehingga rentan terhadap arus budaya global.
Dengan bekal budaya lokal/nasional yang kuat, tidak perlu menjadi masalah terhadap hingar bingar atas rencana pertunjuk artis seperti Lady Gaga di Indonesia. Sebaliknya, bangsa kita pun dapat memanfaatkan globalisasi dengan mempromosikan budaya lokal/nasional sebagaimana bangsa Asia maju lainnya. Namun pertanyaannnya, seberapa seriuskah para pemimpin kita terhadap strategi pembangunan budaya, meski kita yakin bahwa terdapat kalangan masyarakat kita secara diam-diam berjuang memelihara dan mengembangkan budaya lokal/nasional.
Walaupun globalisasi pada tingkat tertentu bermanfaat bagi masyarakat Asia, tetap diperlukan pengembangan budaya lokal agar masyarakat Asia memiliki daya tahan untuk mencegah erosi budaya lokal. Unsur-unsur Asia yang positif perlu dipelihara sehingga bangsa Asia memiliki jati dirinya masing-masing bahkan dapat berperan untuk memperkaya unsur ‘perasaan kemanusiaan’ guna mengimbangi unsur rasionalitas formal dalam budaya global. Meluasnya budaya Asia yang memperkaya budaya global tentu bermanfaat bagi pengembangan budaya perusahaan yang lebih realistis dan mengakar/mem’bumi’ di kalangan pelaku dunia usaha daripada sekedar mengadopsi budaya global/asing dan kurang mengakar.