Globalisasi merupakan ciri ekonomi dunia masa kini. Kehidupan masyarakat kita yang semakin demokratis dan sistem ekonomi yang terbuka memudahkan masuknya globalisasi. Mengingat sifatnya yang mengutamakan kepentingan ekonomi terutama ‘return’ dan laba, dunia bisnis lebih mudah menerima globalisasi yang sarat akan kapitalisme.
Dua persoalan budaya yang memprihatinkan adalah (a) diabaikannya budaya perusahaan di kalangan perusahaan nasional; dan (b) dibiarkannya budaya global mengancam budaya lokal atau nasional. Pebisnis perlu mawas diri seandainya perusahaannya secara formal tidak memiliki budaya perusahaan. Perusahaan tanpa budaya cenderung tidak (a) melakukan gerakan untuk sosialisasi dan penyesuaian/pengembangan budaya kerja; (b) memiliki identitas dan karakter perusahaan yang khas; dan (c) melakukan pembelajaran dan pemberdayaan dalam kegiatan bisnis.
Untuk mengukur seberapa jauh perusahaan memiliki budaya kerja, kita dapat mengacu pada metode para pakar seperti F. John Reh (Company Culture: What It Is And How To Change It, http: //management.about.com/cs/generalmanagement/a/companyculture.htm ) yang mengungkap-kan ciri-ciri budaya perusahaan, seperti kejelasan misi, komitmen karyawan, karyawan dengan pemberdayaan penuh, tempat kerja dengan integritas tinggi, hubungan atas dasar kepercayaan yang kuat, kepemimpinan efektif, sistem dan proses efektif, program kompensasi dan penghargaan atas kinerja, fokus pelanggan, komunikasi efektif, dan komitmen pembelajaran dan pengembangan keterampilan.
Dengan demikian, perusahaan sebenarnya tidak menerapkan budaya perusahaan, jika tidak menunjukkan ciri-ciri tersebut dalam kegiatan bisnis. Kegiatan bisnis tanpa pendekatan budaya akan menciptakan ketegangan atau konflik yang melemahkan organisasi.
Pertanyaan adalah apa penyebab lemahnya budaya Perusahaan. Dalam konteks organisasi, penerapan dan pengembangan budaya perusahaan bergantung pada sikap dan kesadaran pimpinan yang berperan sebagai nakhoda di perusahaan. Perusahaan tidak dapat berharap banyak terutama bila pimpinan perusahaan mengutamakan pencapaian sasaran ekonomi di atas kepentingan SDM dan pendekatan kultural.
Bahasan perlu menyoroti perkembangan budaya global yang sarat akan budaya asing. Tanpa harus bersikap anti globalisasi, pebisnis perlu mengamati kecenderungan dominasi budaya global dalam lingkungan kerja. Kecenderungan dominasi tersebut tercermin antara lain pada (a) perkembangan teknologi komunikasi yang begitu pesat dan menumbuhkan budaya kerja individualistik daripada kelompok; (b) budaya konflik yang seakan-akan mengesampingkan harmonisasi dan kekeluargaan; (c) penilaian prestasi atau kinerja kerja berdasarkan ‘hasil’ daripada ‘proses,’ yang lebih merupakan pemikiran Barat daripada Asia; (d) meluasnya komunikasi formal melalui media teknologi daripada hubungan perorangan; dan (d) berkurangnya budaya paternalistik akibat menguatnya individualistik.
Perubahan prilaku dan budaya dalam bisnis dapat dipahami karena globalisasi telah meruntuhkan batas-batas negara. Kita juga menyadari manfaat globalisasi yang antara lain mempertajam persaingan, meningkatkan inovasi, dan menghapus restriksi-restriksi ekonomi. Masyarakat kita pun dapat menikmati kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akibat kemajuan globalisasi.
Budaya yang berkembang dalam perusahaan bergantung pada keputusan dan sikap pimpinan. Pimpinan yang berorientasi pasar global dan menganut sistem kapitalisme cenderung mengabaikan budaya lokal. Kita harus jujur mengatakan bahwa bangsa kita sering mengabaikan kekayaan budaya nasional, sehingga harus menerima kenyataan akan pencurian budaya nasional oleh bangsa lain.
Masuknya budaya asing berdampak pada ketegangan dan konflik. Dengan dominasi budaya asing, karyawan harus mengadaptasi budaya yang berbeda. Karyawan yang biasa menjalin hubungan kerja dengan mengandalkan harmonisasi, sopan-santun, saling menghargai dan kekeluargaan akan merasa tertekan, seandainya harus menghadapi budaya konflik dan formal dalam bekerja.
Diabaikannya budaya perusahaan dan budaya lokal dapat menurunkan ketahanan bisnis mengingat perusahaan tidak memiliki budaya yang kuat. Dalam perusahaan seperti itu, akan berlangsung dehumanisasi dan suasana kerja penuh ketegangan dan konflik. Perusahaan pun akan kehilangan identitas dan karakter yang merupakan jantung perusahaan.
Kepentingan ekonomi memang vital bagi kelangsungan hidup perusahaan. Tetapi pebisnis perlu mempertimbangkan aspek kultural sebagai pengimbang dalam menghadapi globalisasi, krisis eksternal, dan persaingan. Untuk itu, pebisnis pertama-tama perlu menumbuhkan nilai kemanusiaan dan kesadaran akan pentingnya budaya dalam dirinya dan lingkungan sekitarnya.
Kemudian, pebisnis bersama Manajemen perlu memformulasikan budaya perusahaan sekaligus memasukkan nilai-nilai budaya lokal yang mampu mengimbangi lintas budaya global. Agar perusahaan mampu mempertahankan kelanggengan budaya yang kuat, seyogyanya Manajemen terus melakukan perubahan atau penyesuaian budaya kerja mengingat dinamika bisnis dan keHRDan
Pendekatan budaya menjadi strategis ibarat ‘jantungnya’ bisnis. Perusahaan dapat mengangkat nilai kemanusiaan melalui proses pemberdayaan dan pembelajaran yang menjadi salah satu ciri budaya perusahaan. Terlebih budaya perusahaan menjadi pengikat antar karyawan yang menjamin komunikasi efektif dalam organisasi. Bukankah para pakar seperti John Reh mendefinisikan budaya sebagai “nilai-nilai dan praktik-praktik yang dibagi bersama oleh anggota-anggota kelompok. Oleh sebab itu budaya perusahaan adalah nilai-nilai dan praktik-praktik bersama para karyawan Perusahaan.”
Kebersamaan yang tercipta oleh pengembangan budaya perusahaan, termasuk nilai-nilai budaya lokal, akan memperkuat budaya dalam menjalankan bisnis. Secara demikian, budaya perusahaan menjadi kuat. Bahkan di tengah globalisasi yang semakin menciptakan ‘flat world,’ budaya lokal berpeluang melengkapi multi budaya yang menjadi ciri budaya global. Peluang bagi bangsa kita amat besar mengingat kekayaan budaya nasional sejauh kita mau menghargai budaya kita sendiri.