Penulisan yang menyepelekan kaidah-kaidah bahasa dan penulisan efektif menurunkan efektivitas komunikasi bisnis. Isi pesan tertulis yang rancu bisa-bisa sulit dimengerti dan disalahtafsir pembaca sehingga menghambat komunikasi, dalam arti tercapainya sasaran komunikasi. Penulisan tersebut akan menimbulkan kerugian waktu dan materi, di samping merusak citra perusahaan.
Kebiasaan buruk dalam komunikasi tertulis berbahasa Indonesia terjadi oleh karena beberapa hal. Pertama, komunikasi tertulis dalam arti waktu penggunaannya menempati kedudukan rendah dalam bisnis. Menurut Paul Rankin yang melakukan studi komunikasi, hanya sembilan persen waktu eksekutif dipakai untuk menulis dibandingkan dengan waktu untuk mendengar (45%), berbicara (30%), dan membaca (10%) (lihat James Borg, Persuasion: The Art of Influencing People, Harlow: Pearson Education Limited, 2007).
Kurangnya waktu menulis menurunkan keterampilan menulis, yang hanya dapat ditingkatkan dengan banyaknya praktik menulis. Penguasaan bahasa juga merupakan keterampilan yang dapat ditingkatkan dengan mempraktikkan bahasa. Semakin banyak menulis, seseorang dapat meningkatkan keterampilan menulis.
Memang waktu eksekutif berkomunikasi lisan lebih banyak dalam bisnis. Berbeda dengan bahasa tulisan, bahasa lisan bersifat tidak resmi sehingga tidak harus 100 persen akurat dalam penyusunan tata bahasa dan pemilihan kata. Memang seorang eksekutif perlu berlatih agar komunikasi lisan bisa efektif dan persuasif terlebih untuk melakukan presentasi (publik). Tetapi bahasa tulisan dituntut memenuhi kaidah bahasa yang baik dan benar, sehingga eksekutif perlu menyempatkan waktu berlatih menulis.
Kegandrungan sebagian kalangan eksekutif untuk ‘aksi-aksian’ menggunakan istilah-istilah Inggris bisa menghambat keterampilan berbahasa Indonesia. Kita melihat penggunaan begitu banyak istilah asing, dalam hal ini istilah Inggris, di tempat-tempat umum dan penampilan profesional-profesional muda kita di media massa. Kalangan masyarakat kita seakan-akan kurang ‘afdol’ atau kurang ‘gaul’ jika tidak menggunakan Bahasa Inggris. Penggunaan istilah asing, sebagaimana halnya istilah ‘prokem,’ sah-sah saja dalam pergaulan. Tetapi, persoalannya adalah pencampuradukan istilah asing dalam Bahasa Indonesia karena menjadi kurang ‘pas’ dalam komunikasi tertulis.
Penyebab lain adalah minimnya penguasaan keterampilan menulis efektif. Komunikasi bisnis tidak cukup dengan terpenuhinya kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar tetapi juga terpenuhinya kaidah-kaidah penulisan efektif. Efektivitas komunikasi perlu memperhitungkan ‘suasana’ (mood), penggunaan kata secara lugas, ekonomis, spesifik, dan penggunaan kalimat positif dan aktif, penggunaan kalimat dan paragraf deduktif atau induktif sesuai isi pesan positif atau negatif, penyusunan paragraf yang menarik, dll.
Persoalan di kalangan bisnis kita adalah penulisan Bahasa Inggris seadanya. Lemahnya penguasaan Bahasa Inggris berakibat pada penulisan Bahasa Inggris yang ‘ambur-adul.’ Tidak sedikit eksekutif muda memiliki percaya diri berlebihan untuk menulis Bahasa Inggris. Mereka yakin bahwa isi pesan dapat dimengerti pembaca. Ketidakterampilan menulis efektif bisa menjadi penyebab dengan kebiasaan untuk tidak membaca berulangkali atau mengoreksi draft tulisan. Padahal koreksi merupakan salah satu kaidah penting dalam teknik menulis. Hal serupa terjadi pada kebiasaan menulis dalam Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, minimnya pengetahuan mengenai teknik-teknik penulisan efektif dapat mengurangi efektivitas penulisan.
Selain perlunya nilai kejujuran, etika, ketulusan, dan penguasaan materi yang mendasari efektivitas komunikasi, keterampilan komunikasi tulisan efektif, termasuk penggunaan bahasa, perlu menjadi pertimbangan eksekutif. Dalam komunikasi berbahasa Indonesia, eksekutif kita antara lain perlu memupuk kebiasaan untuk mengurangi bahkan menghindari penggunaan istilah asing yang tidak perlu.
Penguasaan bahasa amat mendasar dalam meningkatkan kemampuan komunikasi tertulis secara efektif dengan menggunakan media Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Namun penguasaan bahasa tidak cukup karena komunikasi bisnis memerlukan penguasaan teknik penulisan efektif.
Penguasaan keterampilan menulis efektif menjamin tercapainya sasaran komunikasi dengan kata lain isi pesan tertulis dapat dipahami dan terhindar dari miskomunikasi atau salah penafsiran. Dengan penguasaan keterampilan tersebut, eksekutif mudah mempengaruhi atau melakukan persuasi terhadap pembaca untuk bertindak sesuai keinginannya. Oleh sebab itu, eksekutif muda perlu meningkatkan kemampuan menulis efektif dengan mempelajari teknik komunikasi efektif secara sadar.